Alun-alun Cianjur tak hanya begitu megah berdiri. Tapi juga indah dan jadi salah satu ikon di Kota Tauco. Dengan beraneka fasilitas dan ornamen pendukungnya, Alun-alun Cianjur bak kilau permata yang mengakibatkan warga untuk berbondong-bondong menginjakkan kakinya di areal tersebut.
Terlebih, alun-alun itu diresmikan bukan oleh Bupati Cianjur atau Gubernur Jawa Barat. Tapi Presiden RI Joko Widodo. Orang nomer satu di Indonesia yang berkenan meluangkan waktunya datang ke Cianjur hanya untuk cuman meresmikannya.
Namun, bagaimana histori perjalanan dan kisah kelahiran Alun-alun Cianjur ini?
Terletak di jantung kota, Alun-alun Cianjur jadi salah satu lokasi yang terlalu mudah dijangkau dan diakses dari mana saja. Keberadaannya pun memadai mudah dikenali.
Dengan gerbang yang menjulang tinggi berwarna kuning keemasan, simbol kemegahan, jadi salah pertandanya. Alun-alun Cianjur yang baru itu berada dalam satu kesatuan bersama Masjid Agung Cianjur dan Pendopo Kabupaten Cianjur, tempat tinggal dinas Bupati Cianjur yang berada di segi barat.
Hanya tersedia sebuah jalan akses yang memisahkan. Jalan yang dulunya adalah jalan raya yang sanggup di lewati kendaraan roda dua dan empat, juga angkot serta delman. Gerbang masuknya pun tak hanya satu, namun tiga.
Gerbang pertama tersedia di Jalan Suroso. Gerbang ke-2 tersedia di segi selatan Masjid Agung. Sedangkan gerbang ketiga tersedia di segi utara Masjid Agung yang sekaligus jadi akses masuk paling dekat bersama Pendopo Kabupaten Cianjur.
Jika lewat gerbang utara atau selatan Masjid Agung, warga dipastikan disambut bersama hamparan rumput hijau sintetis yang berada tepat di depan Masjid Agung. Lengkap bersama tugu Alquran, kolam dan air mancur yang menghiasi sedang lapangan itu.
Kehadiran kolam dan air mancur itu sendiri bak penyejuk sementara matahari tepat berada di atas kepala. Pasalnya, tak tersedia pohon teduh atau daerah berteduh.
Hanya areal lapang. Tak jauh dari lapang itu, di anggota lain, terkandung sebuah menara berwarna putih. Menara Pandang, demikian nama yang disematkan pada bangunan menjulang berwarna putih menyerupai obor itu.
DI menera tersebut, warga sanggup menikmati pemandangan di sekitar Alun-alun Cianjur. Di segi lainnya, terkandung panggung lengkap bersama tribun melingkar yang menyerupai Koloseum di Kota Roma, Italia.
Bedanya, Koloseum berdiri meninggi, sedang panggung dimaksud berwujud seperti cekungan sampai menjorok ke dalam bersama titik sedang dijadikan sebagai panggung.
Di segi Utara, terkandung sebuah panggung bersama sebagian suling berukuran memadai besar jadi latar, lengkap bersama panggungnya.
Sedangkan di depan panggung suling itu, berderet ke selatan, bangunan menyerupai lumbung padi.
Jauh sebelum diresmikan, Alun-alun Cianjur dulunya adalah Pasar Induk Cianjur (PIC). Di pasar itu, hampir 4000 pedagang menggantungkan hidupnya.
Tak hanya pedagang, pun demikian bersama tukang parkir, tukang becak, pemilik delman, penjaja tas plastik keliling, kuli angkut, sampai sales penjaja beraneka produk.
Pasar Induk Cianjur adalah nadi kehidupan dan pusat perekonomian Cianjur sementara itu. Sampai kelanjutannya pada awal 2013, tersiar kabar bahwa PIC dapat digusur dan para pedagang dipindahkan di pasar yang baru di dekat Terminal Pasir Hayam (PIC sekarang).
Berbagai upaya dan sosialisasi dilaksanakan Pemkab Cianjur yang sementara itu dibawah kepemimpinan Bupati Tjetjep Muchtar Soleh.
Namun hal itu ditentang para pedagang yang bersikukuh tak berkenan pindah. Berbagai alasan dan penjelasan udah diberikan, tetap tak merubah keengganan ribuan pedagang PIC.
Sampai suatu ketika, Selasa 27 Agustus 2013, sekitar pukul 01.30 WIB dini hari, api melalap habis seluruh bangunan PIC. Ribuan toko, kios dan warung punya pedagang habis, ludes, gosong, tak tersedia yang sanggup diselamatkan.
Ribuan nyawa yang sepanjang ini menggantungkan hidupnya di PIC, luluh lantak. Tangis dan air mata para pedagang dan keluarganya, meratapi ludesnya penghidupan mereka sepanjang ini. Tak tersedia yang sanggup diselamatkan.
Semua hangus dan tinggal bersisa abu dan arang. Akibatnya, dari ribuan pedagang itu, tak sampai setengahnya yang sanggup bertahan dan sanggup berjualan ulang di lapak-lapak darurat, sebagian bulan kemudian.
Sisanya, tak sedikit pedagang yang kelanjutannya jatuh sakit dan meninggal, menderita masalah jiwa, beralih profesi, dan beragam sengkarut lainnya.
Ayi Setiyadi, salah satunya. Salah satu pedagang PIC yang berjualan makanan keringan itu sebetulnya sanggup bertahan.
Karena ia tetap mempunyai tabungan untuk dijadikan modal memulai ulang usaha yang udah dirintisnya sepanjang 30 tahun lebih itu. Itupun tetap kudu disempurnakan bersama berhutang sana-sini.
Sayangnya, pendapatannya jauh udah terlalu berkurang dibanding sementara PIC belum terbakar dulu. Tak main-main. Di lapak darurat yang ditempatinya, penurunan omsetnya pun raih 70 persen.
“Mau gimana lagi, jika enggak usaha, kami enggak makan,” tuturnya sementara itu.
Nasib Haji Mamat tak seberuntung Ayi Setiadi. Pedagang beras dan sembako itu segera shock sementara sadar tokonya ludes habis terbakar.
Sedangkan modal udah tak dimilikinya lagi. Akibatnya, Haji Mamat lebih kerap murung. Rumah dan harta bendanya pun habis dijual untuk menutup pinjaman modalnya.
Kabar yang didapat Radar Cianjur (Grup Pojokabar) pasca kebakaran PIC, ia (maaf) menderita masalah jiwa. Hanya sekitar sebulan sehabis terbakarnya PIC.
Kabar paling baru yang didapat Radar Cianjur, keduanya kini juga udah almarhum. Haji Mamat meninggal lebih pernah karena sakit-sakitan. Pun demikian degan Ayi Setiadi yang meninggal sekitar dua bulan lalu. Juga karena sakit-sakitan.