Multikultran sebagai tantangan Penididikan Indonesia

Indonesia merupakan bangsa dengan aneka suku, agam, golongan, ras, kelas sosial, dan sebagainya. Singkatnya, multikultural sebagaimana Amerika, Australia, Inggris, dan negara maju lainnya. Walaupun tersusun atas berbagai keragaan, masing-masing bangsa mempunyai latar belakang (alasan historis) dalam mengembangkan pendidikan multikultural (Isnarmi Moeis, 2014: 7). Latar belakang ini pun memberikan warna bagaimana pendidikan multikultural dilaksanakan.

kampus kedokteran terbaik

Pendidikan multikultural Amerika Serikat bermula dari gerakan multikulturalisme yang dimulai tahun 1950-an dalam bentuk gerakan civil rights. Persoalannya adalah persamaan kaum kulit hitam dan kaum kulit putih. Jadi, tuntutan rasial (diskriminasi) menjadi faktor pemicu pendidikan multikultural. Sementara itu, Inggris mengembangkan pendidikan multikultural karena migrasi penduduk Karibia dan Asia, serta Negara-Negara Persemakmuran. Tuntutannya adalah kesetaraan hak sosial, kesetaraan perlakukan di ruang publik dan pendidikan. Selanjutnya, pendidikan multikultural di Australia berlatar belakang diskriminasi suku Aborigin. Lain halnya latar belakang pendidikan multikultural di Kanada. Pendidikan multikultural hadir bersamaan dengan perkembangan sosial dimana memang sejak awal terdiri dari budaya yang berasal dari imigran. Dari beberapa negara tersebut, terlihat bahwa pendidikan multikultural bisa mempunyai polanya sendiri-sendiri sesuai dengan kesadaran dan proses pengolahannya (Isnarmi Moeis, 2014: 8-10).

Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam upaya membangun Indonesia, gagasan multikulturalisme menjadi isu strategis yang merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar lagi. Alasannya adalah bahwa Indonesia merupakan bangsa yang lahir dengan multikultur dimana kebudayaan tidak bisa dilihat hanya sebagai kekayaan (yang diagungkan) tetapi harus ditempatkan berkenaan dengan kelangsungan hidup sebagai bangsa. Dalam konteks Indonesia, pendidikan multikultural merupakan keharusan, bukan pilihan lagi. Di dalamnya, pengelolaan keanekaraaman dan segala potensi positif dan negatif dilakukan sehingga keberbedaan bukanlah ancaman atau masalah, melainkan menjadi sumber atau daya dorong positif bagi perkembangan dan kebaikan bersama sebagai bangsa (Scholaria, Vol. 2, No. 1, Januari 2012: 116).

Upaya pengembangan kurikulum berbasis lokal (yang memasukkan muatan-muatan lokal) menjadi contoh upaya pengembangan pendidikan multikultural. Hanya saja, pendidikan multikultural di sini hanya mempersiapkan anak didik dengan kesadaran budaya etnik mereka sendiri, padahal “tujuan pendidikan multikultur adalah untuk mempersiapkan anak didik dengan sejumlah pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam lingkungan budaya etnik mereka, budaya nasional, dan antar budaya etnik lainnya”. Pendidikan sebagai pengembangan kesadaran budaya seperti ini masih berada dalam taraf soft multikulturalisme (kesadaran multikultural yang hanya di permukaan saja) (Isnarmi Moeis 2014: 10-11).

Kenyataan bahwa Indonesia mempunyai keanekaragaan, tidak bisa dipungkiri. Harapan bahwa keanekaragaan menjadi kekayaan yang memajukan dan mengembangkan bangsa, juga selalu diimpikan. Tetapi, jurang antara kenyataan dan harapan memang mimpi yang belum tahu kapan akan terwujud. Situasi tersebut bisa kita lihat dalam dua sisi. a) Dari sisi negatif, pendidikan multikultural penting tetapi terabaikan. b) Di sisi positif, masih terbentang luas pembentukan suatu model pendidikan multikultural Indonesia (bukan adopsi model Barat) yang mampu mengolah kenyataan bangsa yang multikultural ini sedemikian rupa sehingga bukan hanya potensi kekayaan melainkan menjadi kekayaan yang dirasakan seluruh anggota masyarakat. Lalu bagaimana? Sebagai kail gagasan, ada dua hal yang patut dicermati. Pertama, nilai inti pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural mengusung minimal tiga nilai penting, yaitu: a) apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya, b) pengakuan terhadap harkat dan hak asasi manusia, c) pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia, dan pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi. Kedua, tujuan pendidikan multikultural. Dalam prosesnya, pendidikan multikultural bisa menyasar beberapa gapaian penting, yaitu: a) mengembangkan kesadaran diri dari kelompok-kelompok masyarakat, b) menumbuhkan kesadaran budaya masyarakat, c) memperkokoh kompetensi interkultural budaya-budaya dalam masyarakat, d) menghilangkan rasisme dan berbagai prasangka buruk (prejuice), e) mengembangkan rasa memiliki terhadap bumi, dan terakhir, f) mengembangkan kesediaan dan kemampuan dalam pengembangan sosial (Scholaria, Vol. 2, No. 1, Januari 2012: 125-126).

Akhirnya, demi pengembangan pluralitas bangsa, pendidikan multikultural di Indonesia sekiranya memperhatikan beberapa hal: pertama, pendidikan multikultural menghadirkan atau menyediakan tempat yang luas bagi pengolahan keberbedaan atau keraaman bangsa. Kedua, pendidikan multikultural mendasarkan diri pada Pancasila sebagai pilihan terbaik dalam kemajemukan bangsa Indonesia. Ketiga, pendidikan multikultural mendasarkan diri pada sosio-politik, ekonomi, dan budaya Indonesia. Keempat, pendidikan multikultural membutuhkan metode pembelajaran secara tepat sehingga internalisasi nilai dapat terwujud dengan baik (Scholaria, Vol. 2, No. 1, Januari 2012: 143-147).

kampus uin terbaik