Produksi Wood Charcoal Briquette di Negara ASEAN

Negara ASEAN punyai hutan yang luas dan berbagai sumberdaya kehutanan. Walaupun demikianlah berjalan penurunan di sejumlah negara sebab penebangan yang tidak beraturan di sejumlah negara. Untuk itulah pengelolaan hutan konsisten diperlukan untuk memelihara biomasa sumber energi kehutanan tersebut.

Indonesia punyai luas hutan terbesar, tetapi berjalan penurunan sejak tahun 1990 terlebih sebab illegal logging dan kebakaran hutan. Malaysia punyai kuantitas biomasa dan perkembangan hutan tertinggi berbanding luasan area, namun Thailand terendah.

Hal ini juga sanggup disebabkan curah hujan yang lebih tinggi di Malaysia dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, yaitu 2.875 mm/tahun, bersama dengan umumnya dunia 900 mm/tahun dan Indonesia 2700 mm/tahun. Untuk lebih jelas sanggup dicermati ditabel di bawah ini.

Indonesia dan Malaysia terlebih menghasilkan kayu gergajian (sawn wood) dan kayu lapis (plywood), namun Thailand terhadap wood chip dan papan particle. Vietnam banyak menghasilkan sawn wood, namun Kamboja dan Laos banyak mengonsumsi kayu bulat sebagai bahan bakar.

Woodcharcoal briquette atau sawdust charcoal briquette punyai pasar yang terlampau tinggi terlebih di Timur Tengah, Arab Saudi dan Turki. Negara-negara selanjutnya memakai sawdust briquette charcoal untuk memanggang daging terlebih domba yang jadi favorit makanan disana.

Untuk mengolah sawdust briquette charcoal selanjutnya memakai limbah penebangan (logging residues) maupun limbah industri pengolahan kayu (industrial wood residues). Hal ini selayaknya luasnya hutan dan selanjutnya industri pengolahan kayu sepadan bersama dengan industri sawdust briquette charcoal. Limbah penebangan jumlahnya berlimpah umumnya bagian atas pohon (top) yang berdiameter kecil dan cabang-cabang.

Limbah penebangan berkisar umumnya 100% terhadap mengolah kayu tebangan itu sendiri, sehingga jumlahnya terlampau banyak. Sabah, Malaysia dan Kalimantan, Indonesia banyak menghasilkan limbah penebangan selanjutnya bersama dengan harga terlampau murah.

Sedangkan untuk limbah industri pengolahan kayu umumnya bersifat serbuk gergaji, dan potongan-potongan kayu baik papan maupun kayu bulat. Diperkirakan ada 1600 penggergajian kayu (saw mill) dan 120 pabrik kayu lapis di Indonesia.

Bahan baku industri kayu lapis terhadap awalnya dari kayu hutan alam (natural forest), tetapi seiring permohonan yang tetap meningkat pasokan kayu hutan alam menipis sehingga berubah bersama dengan kayu dari pohon ditanam.

Sewaktu memakai kayu dari hutan alam, diameter kayu sanggup lebih dari 70 cm dan ketika memakai kayu yang pohon yang ditanam diameter kayu hanya kurang lebih 30 cm. Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia terhadap awalnya banyak pabrik kayu lapis beroperasi tetapi sebab pasokan kayu menipis banyak pabrik-pabrik selanjutnya yang menutup produksinya.

Yield kayu lapis dari bahan baku adalah 50%, namun sisanya jadi limbah. Sebagian limbah selanjutnya digunakan untuk bahan baku product block board dan paking material, tetapi hanya kurang lebih 10%, sehingga 40% masih sebagai limbah.

Sedangkan di Malaysia, total volume dari limbah industri kayu yaitu 7,5 juta mtr. kubik per tahun. Limbah penggergajian kayu (saw mill) terbanyak di Sabah, namun limbah kayu lapis (ply wood) di Sarawak. Penggergajian kayu (sawmill) menghasilkan product bersifat kayu gergajian (sawn wood) berkisar 40-65% dan sisanya yaitu 35-60% bersifat sawdust.

Sedangkan yield untuk ply wood berkisar 50-60%, namun 40-50% sebagai limbah. Untuk pabrik molding yield nya lebih tinggi yaitu 70-74%, artinya limbahnya 26-30%. Prosentase limbah kayu dari industri ply wood 75% dan 25% dari industri saw mill. Pemanfaatan limbah industri kayu selanjutnya masih belum optimal, apalagi hanya ditimbun lantas dibakar saja sebab dianggap mencemari.

Sedangkan di Laos ada kurang lebih 200 pabrik pengolahan kayu (furniture, packing material, flooring, dan pintu) bersama dengan berlokasi lebih dari satu besar di kurang lebih Vientiane, ibukota Laos dan hanya 1 pabrik ply wood. Produsen arang bertebaran dimana-mana di negara selanjutnya sebab keperluan tinggi untuk rumah tangga.

Yield dari industri pengolahan kayu selanjutnya berkisar 60%, sehingga 40% sebagai limbah. Pemanfaatan limbah selanjutnya juga belum optimal, layaknya serbuk gergaji (sawdust) hanya ditimbun saja dibelakang saw mill.

Produksi sawdust briquette charcoal (wood briquette charcoal) bakal jadi solusi untuk pemakaian limbah tersebut. Serbuk gergaji (saw dust) jadi bahan baku paling baik sebab tidak wajib pengecilan ukuran (size reduction) dan sanggup lebih pendek proses produksinya.

Sedangkan andaikata limbah selanjutnya masih bersifat potongan-potongan kayu maka wajib proses pengecilan ukuran (size reduction) hingga ukuran partikelnya layaknya serbuk gergaji (saw dust).

Setelah itu andaikata serbuk kayu selanjutnya masih basah (kadar air lebih dari 10%) maka wajib pengeringan yaitu bersama dengan alat pengering rotary (drum) dryer. Selanjutnya sehabis material serbuk kayu selanjutnya kering dilanjutkan bersama dengan pembriketan dan pengarangan (karbonisasi) sehingga product akhir bersifat sawdust briquette charcoal (wood briquette charcoal).